Backpacking: Danau Serantangan, Singkawang

Danau Serantangan - Gundukan pasir bekas PETI
Liburan akhir tahun 2009, saya dan beberapa teman rencanakan untuk berlibur bagaimanapun caranya dan kemanapun tujuannya asal sesuai budget di kantong.  Proposal-proposal perjalan dalam bentuk soft copy dalam otak kami yang rajin nongkrong di base camp mapala kami bahas secara lisan.  Proposal-proposal di awang-awang tersebut kami bahas berdasarkan jarak, budget, dan waktu yang tersedia untuk perjalanan kami.  Setelah perdebatan yang alot karena diskusinya sambil makan sop kikil, akhirnya pilihan jatuh ke proposal dari Majid, yaitu danau Serantangan.  Walaupun informasi yang tersedia sangat minim mengingat majid baru menjelajahi sebagian kecil bagian dari danau tersebut.

Danau serantangan, mungkin banyak warga kota Pontianak dan Singkawang yang pernah dengar, tapi mungkin hanya sedikit yang pernah kesana.  Ada apa di danau Serantangan? Apakah ada sesuatu yang menarik di sana? Apakah akan menyenangkan sekali kalau pergi kesana menghabiskan waktu liburan? Pertama kali saya mendengar nama danau ini adalah saat seorang mahasiswi dari jurusan yang sama dengan saya mempresentasikan proposal penelitiannya. Danau Serantangan adalah lokasi penelitian mahasiswi tersebut, sayangnya sedikit sekali  informasi yang saya dapat saat presentasi itu.

Dengan informasi yang cukup terbatas karena saat itu masih cukup katrok dengan internet, tanggal 29 Desember 2009, kami berangkat dengan persiapan yang seadanya karena berpikir tempat tujuan kami memiliki akses yang mudah.  Sembilan orang dengan lima motor bergerak meninggalkan Pontianak.  Perjalanan Pontianak – Singkawang menggunakan motor memakan waktu lebih kurang tiga jam, cukuplah untuk membuat bokong hampir mati rasa untuk beberapa saat.  

Sampai di Singkawang kami transit di rumah Agri untuk istirahat sejenak dan makan siang, pastinya kami tidak akan kelaparan dirumah “raja” singkawang ini.  Karena raja yang satu ini selalu menjamu tamunya sebagai seorang raja.  Walaupun hanya dengan mie instan, cukuplah menghibur cacing-cacing dalam perut kami yang terus bergoyang selama tiga jamperjalanan tadi.

Danau Serantangan, Berangkat! 
Setelah ngaso sebentar di Istana "Raja Singkawang," perjalanan dilanjutkan menuju danau Serantangan dengan didahului sesi pemotretan di depan istana, kapan lagi kan bisa berfoto di istana raja.  Dengan pose dan gaya yang pas-pasan, semua selalu bersemangat kalau mukanya mau diabadikan dalam kamera. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua raja, rombongan kembali bergerak  melewati jalan pasar Singkawang yang dulu pernah membuat saya disorientasi arah.

Penataan pasar kota Singkawang seperti blok-blok rumah dalam anime Doraemon, bedanya banyak jalan satu arah disini.  Pengendara yang belum terbiasa biasanya jadi berputar-putar saja disana, tapi tidak menutup kemungkinan hanya saya saja yang mengalami kejadian seperti itu. 

Meninggalkan pasar Singkawang, kami melaju ke bagian selatan kota dan berbelok kiri di simpang tiga ke arah Sagatani.  Dari simpang tiga ini kami dapat melihat gunung Passi di kejauhan yang menampakkan sedikit tebing batunya. Jalan aspal mulus masih kami rasakan untuk beberapa kilometer dari simpang. Semakin dekat dengan kaki gunung Passi di sebelah kiri jalan, semakin besar batu-batu yang dilindas ban motor kami yang rata-rata punya kapasitas 100 cc.  Beberapa kali saya bermanuver tiba-tiba dalam kecepatan tinggi untuk menghindari lubang-lubang jalan yang berair.  Menurut Einstein, waktu itu relatif, karena itu kecepatan juga relatif.  Bagi saya kecepatan 70 km/jam itu sudah tinggi, dan pasti beda dengan orang-orang yang berbakat jadi pembalap.

Dalam Tatapan Passi
Badan jalan semakin buruk permukaannya saat kami berada pada bagian jalan yang terdekat dengan kaki gunung pasi.  Benar, dari jarak yang dekat seperti ini, gunung Passi memang tampak besar.  Mengingatkan saya pada seminar hasil penelitian seorang gadis yang dalam perjalanan kali ini duduk di belakang saya.  “Gunung itu….. besar!”, begitulah katanya saat diminta dosen untuk menggambarkan gunung yang menjadi tempat penelitiannya.  Dan jawabannya atas permintaan dosen tersebut sukses memecahkan tawa peserta seminarnya.  Tawa mereka pecah tepat setelah dua detik keluarnya pernyataan tersebut.  Sekarang gunung itu ada di depan kami dan menyambut dengan keanggunannya. Sesekali segumpal awan membalut puncak gunung yang memanjang dari arah timur ke barat.

Semakin jauh dari pusat kota Singkawang, jalan yang kami lewati semakin sempit, walaupun lebih mulus dari jalan yang kami lewati saat mengitari gunung Passi tadi.  Beberapa rumah berdiri saling berjauhan diselingi kebun pisang yang tidak teratur dan kurang terawat. Beberapa anak kecil bermain di pinggiran jalan yang teduh hingga kami menyeruak keluar dari rimbunnya pohon-pohon yang menyejukkan kawasan pemukiman.  Hamparan sawah yang luas dan masih hijau menyambut kami dengan ramah. 

Motor masih terus melaju melintasi jalan yang di kiri dan kanannya terhampar luas sawah, sawah dan sawah.  Dalam hati saya berkata “Hei, dimana danaunya?”, kesabaran saya sedikit menguap karena panasnya bokong, namun hati dengan cepat mendinginkan otak saat melihat hamparan sawah setelah perjalanan yang lumayan jauh ini.  Kami berhenti di depan sebuah warung, beberapa orang laki-laki duduk di bangku panjang, sepertinya mereka adalah operator perahu-perahu yang membawa penumpang ke dalam kawasan danau ini. Walaupun cukup jauh dari pusat kota, secara administratif ternyata tempat ini masih termasuk dalam wilayah kotamadya Singkawang.

Dibalik awan, Raya Diam
Di kejauhan Gunung Raya bersembunyi dibalik awan yang tidak pernah betah di satu tempat. Terus bergerak bersama tuannya dari satu bagian langit ke bagian lainnya. “Kite naek motor aek boy, bayar 20ribu, cemane?” kojay bertanya kepada semua. Setiap keputusan kami  usahakan untuk menjadi keputusan bersama.  “Okelah!”, jawabku singkat, demikian juga yang lain. 

Perahu yang mana pak?

I’m a slow walker, but I never walk backward.

Mesin motor air yang menempel pada ekor perahu sepanjang tiga meter ini dinyalakan, tambatan tali di dermaga telah dilepas, pilot telah di posisinya.  Mesin motor bergetar cepat menciptakan gelombang-gelombang longitudinal dengan frekuensi tinggi yang memenuhi udara.  Memaksa pita suara kami bekerja lebih keras jika ingin berkomunikasi satu sama lain.  Sementara haluan perahu bergerak maju membelah kanal berair bening ini, membuat gelombang transversal di kedua sisi perahu. 

Antara Pasi dan Serantangan
Dua ekor anjing berlari di pinggir kanal mengikuti gerakan perahu motor seolah tidak rela kami meninggalkan mereka.  Mungkin nahkoda perahu yang kami tumpangi adalah tuan mereka.

Sekumpulan awan hitam berkumpul di langit danau Serantangan, Saya tidak tahu kalau mereka sedang ada janjian di tempat ini.  Atau mungkin mereka juga punya rencana liburan di danau ini, yang jelas kegiatan mereka ini sedikit mengkhawatirkan.  Karena kalau mereka berkumpul seramai ini biasanya mereka akan membuat keributan di langit, saling melempar tongkat putih yang menyala sepanjang puluhan kilometer. Lalu menangis bersama-sama hingga membasahi permukaan Bumi dibawahnya.  Tapi tangis mereka bukanlah tangis kesedihan, mereka menangis bahagia karena telah ditugasi Sang Penguasa Semesta untuk menghidupakan bumi dan menjadi rezeki bagi manusia yang seringkali tidak tahu berterima kasih.  Mudah-mudahan kita termasuk manusia yang tahu berterima kasih.

Selanjutnya

3 comments:

  1. hhhmmm... mungkin perlu belajar dgn Bang G bagaimana naek motor PTK-SKW ckp 1 jam... :)

    ReplyDelete
  2. waah fotonya kurang banyak broo

    ReplyDelete
  3. @bang deny... no coment bang... :-D
    @bang dewo, makasih masukannya bang, ntar saya tambah photonya

    ReplyDelete