Pulau karimata terletak lebih kurang 95 mil laut dari kota Pontianak ibu kota Kalimantan barat. Termasuk kedalam wilayah Kabupaten Kayong Utara yang baru saja dipisah dari kabupaten ketapang. Di Pulau inilah terdapat Gunung Cabang dengan ketinggian 1030 m dari permukaan laut. Gunung Inilah yang menjadi target pendakian anggota MAPALA UNTAN.
Taggal 29 Agustus 2007, pukul 09.00, dilangsungkan upacara pelepasan keberangkatan tim ‘EKSPEDISI NEPHENTES MAPALA UNTAN 2007’. Dengan dihadiri beberapa orang undangan, upacara berjalan khidmat walaupun sangat sederhana. Adapun pemain dari ekspedisi ini adalah 5 orang anggota muda yang dulu bercita-cita untuk menjadi anggota MAPALA UNTAN, yaitu Baryan , Lucius Yupinus, Hambran, Hardiansyah, dan Wandi. Serta ditemani dua orang mentor dari anggota biasa, yaitu Saya sendiri dan Agri.
Selepas upacara, kami langsung berangkat menuju ke Dermaga Sungai Kakap tempat bersandarnya kapal motor yang akan membawa kami keKepulauan Karimata dengan diiringi beberapa anggta dan beberapa MPA Muhammadiyah yang kebetulan baru menyelesaikan kegiatan jambore mereka. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam lebih. Rombngan pengantar ikut menunggu keberangkatan kami hingga pukul 3 sore. Sedangkan kami belum juga berangkat, setelah mencoba konfirmasi ke pemilik kapal, ternyata kapal masih menunggu air pasang.
Setelah air naik, ternyata kapal belum juga berangkat, ternyata kami harus menunggu lagi karena kapal masih menunggu datangnya batu es yang akan digunakanuntuk membawa ikan yang akan dibeli di karimata. Hari semakin gelap, tapi kami sudah dapat kesibukan baru……..memancing ikan. Sekali lagi Pa’I dapat ikan, tapi kali ini tidak bisa dimakan. Jadi kami lepaskan lagi. Kelelahan dengan penantian ini membuat mata mengantuk, tim mulai mengantuk dan mulai mencari tempat untuk berbaring dan mengistirahatkan mata dan pikiran yang agak gerah dengan penantian ini……………………zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz
30 Agustus 2007. Pagi pukul 6 aku sudah terbangun, kupikir suasana dermaga ini akan ramai sekali, namun rupanya masih sepi. Mungkin hujan tadi malam membuat orang malas untuk bangun pagi-pagi. Atau mungkin sebagian besar nelayan yang melaut tadi malam belum kembali ke daratan. Hingga siang menjelang, tidak ada yang dapat kami lakukan selain menunggu keberangkatan kapal motor yang akan kami tumpangi. Hampir jam 2 siang, balok-balok es yang ditunggu telah datang. Dengan sampan, balok-balok itu dibawa mendekat ke perahu motor selebar 4 meter dan panjang 10 meter itu.
Balok-balok tersebut dimasukkan kedalam mesin yang mencincangnya menjadi serpihan-serpihan yang lebih kecil. Pekerjaan ini membuat Susana siang yang panas menjadi dingin karena dinginnya es yang di pecahkan tersebut. 12 ton es dimuatkan kedalam kapal motor tersebut untuk membawa ikan yang akan dibeli dari nelayan-nelayan di kepulauan karimata. Kami ikut membntu pekerjaan ini, sekedar mempersingkat waktu agar waktu keberangakatan kami bisa lebih cepat.
Hingga siang menjelang, tidak ada yang dapat kami lakukan selain menunggu keberangkatan kapal motor yang akan kami tumpangi. Hampir jam 2 siang, balok-balok es yang ditunggu telah datang. Dengan sampan, balok-balok itu dibawa mendekat ke perahu motor selebar 4 meter dan panjang 10 meter itu. Balok-balok tersebut dimasukkan kedalam mesin yang mencincangnya menjadi serpihan-serpihan yang lebih kecil. Pekerjaan ini membuat Susana siang yang panas menjadi dingin karena dinginnya es yang di pecahkan tersebut. 12 ton es dimuatkan kedalam kapal motor tersebut untuk membawa ikan yang akan dibeli dari nelayan-nelayan di kepulauan karimata. Kami ikut membantu pekerjaan ini, sekedar mempersingkat waktu agar waktu keberangakatan kami bisa lebih cepat.
Sekitar pukul 4 sore, pekerjaan memuat es telah selesai bertepatan dengan pasang naik yang sudah cukup tinggi sehingga kapal motor dapat segera meninggalkan dermaga. Akhirnya, awak kapalmelepskan tambatan kapal Dari dermaga dan kami mulai meninggalkan dermaga sungai kakap untuk menuju kepulauan karimata. Setelah meninggalkan dermaga, kapal berlayar pelan diantara kapal-kapal motor lainnya. Kemudian berbelok kekiri melintasi salah satu cabang sungai Kapuas yang mengarah dermaga Rasau Jaya dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi.
Menuju Kawasan Rasau
Menjelang maghrib, dermaga Rasau Jaya mulai terlihat, nahkoda mengubah haluan kapal ke kanan memasuki sebuah sungai yang lebih kecil. Kemudian terlihat sebuah kelenteng yang cukup besar yang berdiri di tepian sungai diantra lebatnya hutan rawa riparian yang didominasi oleh tumbuhan nipah. Disana kapal Rahmat Ilahi milik Vedi merapat, aku bertanya-tanya dalam hati apa lagi yang akan menghambat perjalanan kami ini. Rupanya vedi owner dari kapal ini akan melaksanakan ritual sembahyangnya (mungkin untuk dewa lautnya!).
Hari yang sudah mulai gelap menandakan waktu makan malam akan menjelang. Tim mulai memasak untuk dinner kali ini. Setelah 30 menit tim memasak, kami menikmati makan malam pertama yang jauh dari keramaian. Setela makan malam, untuk mengisi waktu, kami mulai menyiapkan kembali perlengkapan memancing yang dibawa dari dermaga tadi sore. Tak disangka, kail Baryan ditarik seekor ikan yang malang. Setelah diangkat ternyata seekor ikan patin. Setelah diangkat dan dilepaskan dari mata kail ikan itu diletakkan begitu saja di dalam keranjang yang ada diatas kapal itu. Sayang, makan malam sudah selesai!!!!!!!
Penantian kami berakhir pukul 21.45, saat kapal mulai meregang dari steher kelenteng dan kembali menyusuri sungai mengarah ke pelabuhan teluk Batang. Pukul 22.00 lebih kurang, tim melakukan evaluasi untuk kegiatan yang telah dilakukan hari ini dan briefing untuk perencanaan kegiatan hari esok. Rapat ini hanya berlangsung sekitar 30 menit, setelah itu rasa kantuk menyergap kesadaranku dan membawaku kealam tenang. Tidur!!!
31 Agustus 2007.
02.00 Dini hari. Byarrrrrrrrrrrrr, rupanya alam tidak mengizinkan kami tidur nyenyak malam ini. Gelombang air laut yang cukup tinggi menghantam dan menggoyang kapal kami serta menyumbangkan sedikit airnya keatas kapal kami. Membasahkan pakaian kami semua dan memaksa kami semua terbangun dari tidur. Seperti kalang kabut, masing-masing anggota kami memasag life jacket yang memang di bawa dari secretariat. Dengan kondisi yang masih terkantuk-kantuk, kami hanya bisa duduk karena lantai kapal dan pakaian kami sendiri basah oleh air laut. Mungkin inilah untuk pertama kalinya saya merasa agak ngeri untuk buang air kecil, karena untuk melakukannya aku harus berjalan dan berdiri diatas kapal yang terus bergoyang diterpa ombak, apalagi harus berdiri di ujung kapal diatas buih air yang tercipta karena putaran baling-baling kapal.
Pukul 08.00. Angin laut mengusap tubuhku dan membangunkanku pagi hari ini dengan sisa keletihan hari kemarin yang tidak lunas tadi malam karena tidur yang tidak nyenyak, hanya beberapa orang yang terlihat sudah bangun, unyil dan baryan. Aku tak tau apa yang ada dalam pikiran mereka, bahkan aku sendiri tak tau apa yang ada dalam pikiranku. Angin laut yang dingin kembali menerpa tubuh, aku merapatkan pakaian dan melipat tangan diatas dada. Pagi ini kuawali dengan lamunan yang tidak tentu arah. Byarrrrr!!! ombak setinggi satu meter menghantam kapal kami, kembali menumpangkan air asin ke lambung kapal tempat kami tidur tadi malam. Memaksa mereka yang masih tidur terbangun karena kebasahan.
Pukul 14.00, dari atas atap kapal aku melihat dua gugusan pulau yang cukup besar. Kukira aku telah melihat kepulauan Karimata. Kutanyakan kepada salah satu dari dua nahkoda yang ikut dalam pelayaran ini, “yang sebelah kiri sana itu pulau Penebang, sedangkan yang didepan itu pulau Pelapis! Karimata kira-kira masih 3 jam perjalanan dari pulau Pelapis!” jawabnya. 14.30, kapal kami menurunkan jangkar disamping sebuah kapal yang sedikit lebih kecil beberapa ratus meter dari pantai pulau Pelapis yang cukup besar masih dalam kawasan Kepulauan Pelapis.
Pulau Pelapis
Rupanya kapal yang satu ini juga milik Vedi, yang digunakan untuk menangkap ikan, sedangkan yang kami tumpangi digunakan untuk membawa barang dagangan berupa sembako dan barang kebutuhannya lainnya ke Karimata, kemudian membawa ikan dari Karimata ke Sungai Kakap. Dua tali pancing terpasang di belakang kapal penangkap ikan, sekali lagi untuk mengisi waktu aku memasang umpan pada mata kailnya dan mulai menunggu dan berharap ada ikan yang malang memakan umpan yang aku pasang.
Sekitar pukul 3 sore, jangkar mulai diangkat dan mesin perahu dinyalakan kembali. Tambatan ke kapal yang satunya algi dilepaskan dan sedikit-demi sedikit kapal mualai menjauh dan memasuki selat yang ada di antara dua pulau, salah satunya adalah pulau Pelapis, entah yang satunya lagi. Pemandangan yang bagus terlihat didalam selat ini. Dikiri kanan terdapat perkampungan yang tidak terlalu besar (sampai dikampung padang baru aku tau kalau dipulau ini juga terdapat pangkalan TNI AL). Ketika meninggalkan selat ini, dari sisi kanan terlihat pulau kecil yang cantik, jika dilihat dari jauh tampak seperti hanya ada satu pohon yang tumbuh disana, seperti pohon beringin yang akarnya menutupi seluruh permukaan pulau. Setelah itu yang terlihat kembali hanya laut biru didepan dan bayangan gunung tinggi yang tertutup awan.
Pulau Karimata dan Puncak Cabang dalam Balutan Awan
Pukul 5 sore, dari atas atap kapal kami menikmati pemandangan. Kepulauan Karimata dengan puncak Cabang yang tertutup awan terbentang dengan megah dihadapan kami. Disebelah kanan tampak gunung yang berbentuk seperti segitiga sama kaki. Matahari semakin merendah menciptakan langit yang menjadi merah, perlahan matahari ikut memerah diatas horizon. Terus kekanan tampak pulau-pulau yang lebih kecil menemani pulau Karimata, ke arah kepulauan kecil itulah nahkoda mengarahkan haluan kapal, memasuki selat kecil disebelah kiri pulau. Sisi kiri kapal tampak pantai Pulau Karimata, sedangkan sisi kanan tampak beberapa kapal nelayan yang dijangkarkan di tepi pantai dengan latar belakang langit yang semakin gelap. Dari selat ini dapat terlihat pulau Begunung dan Pulau Serutu.
Pukul 19.00, Perlahan-lahan tampak cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk berjejer di pinggir pantai bawah bukit. Samar-samar tampak jembatan kayu yang memanjang kearah laut yang kukira adalah laut lepas. Gelombang cukup besar, sehingga dapat menggoyang kapal kami. Menurut Vedi, malam ini lebih baik kami tidak usah dulu mendarat ke Kampung, karena cuaca masih hujan dan untuk kekampung kami harus meniti jembatan yang kulihat menjorok ke laut tadi. Panjang jembatan itu sekitar 150 meter, sehingga perjalannya dapat membuat kami kebasahan.
Cuaca masih hujan gerimis dengan udara yang semakin dingin. Baryan dan anggota timnya memasak untuk makan malam. Aku dan Agri masih menonton sambil menunggu makan malam. Pa’I yang tampak sangat kelelahan dengan perjalan ini ikut keatas camp dan berbaring, tidak ikut membantu kawan-kawannya memasak. Kurasa kawan-kawannya juga mengerti dengan kondisi fisiknya yang mulai menunjukkan gejala flu. Hampir jam 9 malam baru makan malam siap, dan kami makan malam dengan kondisi yang mulai masuk angin. Setelah makan, tim melakukn briefing sebentar dan memutuskan bahwa besok kami akan naik ke desa betook dan meminta bantua dari tokoh masyarakat yang ada di desa itu untuk mencarikan alat transportasi kedesa Padang. Setelah itu kami mulai mencari tempat masing-masing untuk tidur malam ini. Aku dan Agri memutuskan untuk tidur di atas camp, diikuti wandi, unyil dan pa’i. Sementara Baryan dan Hambran tidur di atas kapal motor sekalian menjaga barang-barang kami.zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz!!!!!!!!!!!!!!
01 September 2007. Kami terbangun pukul delapan, aku dan yang lainnya langsung bersiap dan menyiapkan barang untuk mendarat ke Desa Betok. Saat kulihat kesekeliling, ternyata camp tempat kami menginap berada di sebuah teluk yang cukup tenang dan cukup jauh dari ombak besar di laut lepas. Sedangkan jembatan yang kulihat adalah dermaga kayu yang panjangnya hanya sekitar 100 meter. Diatas dermaga tampak seorang lelaki sekitar 50 tahunan, aku langsung berbasa-basi dengannya sekaligus menanyakan keberadaan kepala desa. Menurut beliau, kepala desa sedang berada di Tanjung Satai.
Setelah berdiskusi, tim memutuskan untuk menuju rumah kepala dusun Betok yang tidak jauh dari dermaga. Carrier terpasang dan kami mulai beranjak dari dermaga ke rumah kepala dusun. Setelah bertemu kepala dusun yang ditemani beberapa anggota masyarakat dan beberapa pemuda, tim langsung menyampaikan tujuan datang ke pulau ini, yaitu untuk mendaki puncak Gunung Cabang melalui jalur desa Padang. Tim mendapat masukan bahwa pendakian akan menjadi lebih jauh jika dilakukan dari desa Padang. Karena itu tim memutuskan untuk merubah jalur pendakian, yaitu melalui hulu sungai Betok sesuai informasi dari masyarakat desa Betok.
12.30, rupanya istri kepala dusun telah menyiapkan makan siang untuk kami. Kebetulan perut ini sudah dililit lapar karena dari pagi belum makan. Meskipun sederhana, makan siang ini terasa lebih baik dan tentu saja lebih enak dari makan kami sebelumnya dalam perjalanan panjang kami kemarin. Atau mungkin karena kondisi di laut yang membuat makan kemarin tidak begitu nyaman. Selepas makan tim langsung mengadakan Briefing, aku kembali memberi masukan ke tim mengenai baik dan buruknya merubah jalur pendakian. Akhirnya mencapai kebulatan keputusan untuk mengubah jalur pendakian yang otomatis akan mengubah rencana PPM yang akan dilaksanakan di desa Padang.
Siang kepala desa telah kembali dari Kalimantan, kami bersilaturahmi ke rumah beliau untuk memberitahukan rencana kegiatan kami seperti yang kami sampaikan kepada kepala dusun. Kepala Desa bercerita sedikit tentang Gunung Cabang dan menyampaikan beberapa informasi terkait adab yang harus kami jaga diatas. Salah satunya adalah tentang Rabun, yaitu mengasapi pendaki dengan kayu wangi sebelum mulai pendakian.
Silaturahmi sekaligus pemberitahuan dan permohonan izin mendaki Gunung Cabang
Hingga pukul 14.30, packing ternyata belum juga selesai. Hambran dan Baryan datang dari rumah kepala desa dengan membawa sepotong kayu gaharu yang telah didoakan. Nantinya, kayu gaharu itu akan di bakar dan di”rabon” kepada kami semua yang akan naik. Setelah packing selesai, dengan membawa carier masing-masing kami langsung beranjak ke rumah kepala desa untuk berpamitan. Dengan sedikit basa-basi dan penjelasan mengenai agenda yang akan dilaksanakan tim, kami langsung berpamitan. Kemudian kami beranjak ke dermaga kayu, dimana perahu yang akan membawa kami ke hulu sungai Betok suda menunggu.
Sekitar 15.30 kami mulai meninggalkan desa Betok. Ombak cukup tenang ketika kami meninggalkan dermaga, namun ketenangan ini menghilang seiring posisi kami yang keluar dari teluk. Ombak bergerak dengan cepat dengan ketinggian 1-1,5 meter, sementara perahu yang kami naiki hanya sepanjang lebih kurang 4 meter dan lebar 1,5 meter. Ombak menyebabkan perahu miring 30 derajat. Cukup membuat gusar karena kami tidak membawa life jacket. Di kejauhan kami melihat dua orang anak dengan santainya bersampan jauh dari darat dengan ombak yang demikian tinggi, salut! Ombak demikian tetep bertahan hingga kami sampai di muara sungai Betok. Begitu lepas dari tanjung yang memisahkan desa Betok dari Kampung Betok, kami disuguhi pemandangan hutan Bakau yang bener-benar asri karena jauh dari pemukiman masyarakat.
Puncak Gunung Cabang dari Muara Sungai Betok
Memasuki sungai Betok, air cukup tenang dan bening sehingga kami dapat melihat kedasar sungai dan perahu harus bergerak perlahan karena sungai tersebut sangat dangkal. Perahu bergerak di tepi kiri dari sungai, bang Marus mengawasi dasar sungai untuk memberi arahan ke nahkoda agar tidak terjebak oleh bagian yang dangkal. Perahu bergerak kearah kanan dan sekali lagi menghindari bagian dangkal, dikiri dan kanan sungai tampak pemandangan hutan bakau yang rimbun dengan air yang bening. Dari muara sungai ini kami dapat melihat Gunung Cabang yang tampak kokoh dan sangat menggoda untuk didaki. Lereng gunung tampak menghijau, puncak sejati gunung yang angker ini seharusnya dapat kami amati jika saja tidak tertutup awan. Namun kami cukup puas meskipun hanya melihat puncak semu yang lebih kecil. Posisi kedua puncak yang khas jika dipandang dari muara inilah yang mungkin mendasari penamaan dari gunung ini. Puncak batu berada di sebelah kiri depan, sedangkan puncak tertinggi berada agak kebelakang sebelah kanan, dan posisi ini memang membuat puncak gunung tampak bercabang.
Seekor ikan Pari berenang melewati kami dan untuk pertama kalinya aku melihat ikan pari yang berenang bebas di dalam air muara sungai. Di muara sungai ini kita dapat menemukan kepiting renjong yang besar-besar, jika beruntung kita juga dapat melihat hewan reptile yang sangat disegani, Buaya Muara. Menurut penduduk, dahulunya buaya-buaya tersebut sangat ganas dan liar, namun setelah dikuasai oleh dukun kampung mereka tidak lagi mangganggu manusia yang lewat di sungai itu.
Diantara rimbunnya hutan bakau dapat kita lihat beberapa tumbuhan sarang semut yang belakangan ini dikenal sebagai tanaman yang dapat mengobati kanker. Ukuran sarang semut ini bisa dikatakan sangat besar, lebih besar dari ukuran bola basket. Semakin masuk kearah hulu air semakin bening, beberapa kali kami terjebak oleh dangkalan atu batang-batang pohon yang mati sehingga kami harus menggunakan bambu untuk mengarahkan haluan kapal. Kami dapat melihat ikan-ikan yang berenang mengikuti arus, tampaknya ikan-ikan tersebut berusaha menjauhi kami.
Setelah melewati hutan bakau, kami memasuki vegetasi hutan rawa air tawar. Kiri kanan sungai memang terlihat rendah sehingga tergenang oleh air. Semua kondisi alam yang sangat asri dan unik ini sangat terlihat eksotis. Dan mungkin ekosistem pulau ini dapat dibandingkan dengan ekosistem gunung Palong. Karena di pulau ini dapat kita temui ekosistem-ekosistem yang cukup lengkap, mulai dari hutan bakau tepi pantai, hutan rawa air tawar, hutan kerangas, dan hutan pegunungan tinggi hingga 1030 mdpl, meskipun mungkin kekayaan flora dan fauna kalah dengan TN. Gn. Palong.
Pukul 16.30, Karena terlena dengan pemandangan dalam air yang bening yang ditingkahi ikan-ikan sebesar jari hingga ukuran telapak tangan yang belum pernah kami lihat, tanpa terasa kami telah sampai ke komplek camp para penebang kayu di hulu Betok dengan diiringi gerimis yang datang dan berlalu, sebentar datang sebentar kemudian berhenti. Kedatangan kami disambut oleh Pak Amad dan keluarganya yang sedang bersantai didepan camp miliknya.
Komplek Camp ini terdiri dari beberapa camp yang berukuran lebih kurang 3x4 meter. Beberapa diantaranya sudah tampak rusak dan melapuk sehingga tidak dapat ditinggali, kami memilih menginap pada salah satu rumah yang dekat dengan sungai. Selain masih tampak kokoh, posisinya akan memudahkan untuk mengambil air. Menurut Marus, jika kita terus mengarah ke hulu sungai, kita akan sampai pada air terjun yang tingginya mungkin mencapai 100 meter. Namun sayangnya dalam pendakian nanti kami tidak melewati air terjun tersebut karena untuk melewatinya kami harus berputar sehingga akan menambah waktu pendakian kami.
Pukul 17.00, sementara sebagian tim dan mentor mengobrol dengan pak Amad, sebagian tim yang lain mulai membersihkan ruangan dalam camp yang sudah beberapa bulan tidak dipakai lagi itu. Menurut Marus, camp ini merupakan milik warga Betok yang sudah lama tidak lagi menebang kayu.
Suasana langit mulai gelap dan hujan gerimis yang menjadi semakin lebat menambah sejuknya udara sehingga membuatku enggan untuk membersihkan diri (mandi).
Setelah camp dibersihkan dan dialasi dengan tikar pandan yang memang ada disana, kami mulai mengemaskan barang masing-masing untuk disusun didalam camp.
Sementara yang dapat giliran memasak mulai memasak untuk makan malam, aku dan sebagian tim yang lain mengobrol dengan pak Amad yang sejak lahir sudah tinggal di Betok. Beliau menyampaikan bahwa menurut kepercayan masyarakat, karena besok hari senin maka agar usaha yang dilakukan dapat berjalan lancar dan berhasil maka kita harus memulainya sebelum pukul setengah delapan. Setelah makam siap kami menikmati makan malam dan dilanjutkan briefing tim untuk agenda kegiatan besok. Hujan yang cukup lebat masih mengguyur hutan ini, menemani kami hingga waktu tidur yang didahului cerita-cerita masyarakat setempat mengenai sungai Betok dan Gunung Cabang. Seperti dongeng yang mengantarkan kami kealam mimpi.
Bersambung
Baca juga: Sail Karimata 2016 - Keindahan Dasar Laut Hingga Puncak Gunung Cabang
0 comments:
Post a Comment